GUNUNG MERAPI
Posisi geografis kawasan Gunung Merapi adalah di antara koordinat 07°22'33" - 07°52'30" LS dan 110°15'00" - 110°37'30" BT. Sedangkan luas totalnya sekitar 6.410 ha, dengan 5.126,01 ha di wilayah Jawa Tengah dan 1.283,99 ha di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kawasan G Merapi tersebut termasuk wilayah kabupaten-kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten di Jawa Tengah, serta Sleman di Yogyakarta.
[sunting] Sejarah kawasan
Hutan-hutan di Gunung Merapi telah ditetapkan sebagai kawasan lindung sejak tahun 1931 untuk perlindungan sumber air, sungai dan penyangga sistem kehidupan kabupaten/kota Sleman, Yogyakarta, Klaten, Boyolali, dan Magelang.
Sebelum ditunjuk menjadi G Merapi, kawasan hutan di wilayah yang termasuk propinsi DI Yogyakarta terdiri dari fungsi-fungsi hutan lindung seluas 1.041,38 ha, cagar alam (CA) Plawangan Turgo 146,16 ha; dan taman wisata alam (TWA) Plawangan Turgo 96,45 ha. Kawasan hutan di wilayah Jateng yang masuk dalam wilayah TN ini merupakan hutan lindung seluas 5.126 ha.
[sunting] Deskripsi fisik wilayah
[sunting] Topografi
Wilayah TN G Merapi berada pada ketinggian antara 600 - 2.968 m dpl. Topografi kawasan mulai dari landai hingga berbukit dan bergunung-gunung. Di sebelah utara terdapat dataran tinggi yang menyempit di antara dua buah gunung, yakni Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di sekitar Kecamatan Selo, Boyolali.
Di bagian selatan, lereng Merapi terus turun dan melandai hingga ke pantai selatan di tepi Samudera Hindia, melintasi wilayah kota Yogyakarta. Pada sebelum kaki gunung, terdapat dua bukit yaitu Bukit Turgo dan Bukit Plawangan yang merupakan bagian kawasan wisata Kaliurang.
[sunting] Jenis tanah
Jenis-jenis tanah di wilayah ini adalah regosol, andosol, alluvial dan litosol. Tanah regosol yang merupakan jenis tanah muda terutama berada di wilayah Yogyakarta. Bahan induk tanah adalah material vulkanik, yang berkembang pada fisiografi lereng gunung. Jenis tanah andosol ditemukan di wilayah-wilayah kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali.
Wilayah Gunung Merapi merupakan sumber bagi tiga DAS (daerah aliran sungai), yakni DAS Progo di bagian barat; DAS Opak di bagian selatan dan DAS Bengawan Solo di sebelah timur. Keseluruhan, terdapat sekitar 27 sungai di seputar Gunung Merapi yang mengalir ke tiga DAS tersebut.
Ekosistem Merapi secara alami merupakan hutan tropis pegunungan yang terpengaruh aktivitas gunung berapi. Beberapa jenis endemik di antaranya adalah saninten (Castanopsis argentea), anggrek Vanda tricolor, dan elang jawa (Spizaetus bartelsi). Taman nasional ini juga merupakan tempat hidup macan tutul (Panthera pardus).
PETA YOGYAKARTA
GUNUNG MERAPI
JURU KUNCI GUNUNG MERAPI
Penguasa Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan belum memiliki kandidat Juru Kunci Gunung Merapi. Tokoh masyarakat Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Mbah Ponimin juga belum tentu akan menggantikan Mbah Maridjan.
"Ya belum tentu itu, isteri saya (Gusti Kanjeng Ratu Hemas) kan hanya mengatakan karena Mbah Maridjan meninggal maka kamu (Ponimin-red) yang jaga Gunung Merapi, ini bukan berarti yang bersangkutan ditunjuk sebagai juru kunci," kata Sultan di Posko Utama Satuan Pelaksana (Satlak) Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (PBP) Kabupaten Sleman,Kecamatan Pakem, Jumat (29/10).
Menurut dia, karena Mbah Maridjan meninggal maka diharapkan Ponimin sementara bisa menggantikan untuk menjaga Gunung Merapi.
"Kalau untuk penentuan siapa yang akan menjadi juru kunci, sampai saat ini masih dijajaki siapa yang patut menggantikan posisi Mbah Maridjan sebagai juru kunci Gunung Merapi," kata Sultan.
Untuk penunjukan juru kunci Gunung Merapi ini ada proses sampai ada perintah ageng nanti yang akan diusulkan siapa.
"Kalau dari penilaian saya belum bisa mengatakan itu, kandidat belum ada, ditunggu saja prosesnya," katanya.
Sultan mengatakan, untuk menjadi seorang juru kunci Gunung Merapi itu ada syarat yang harus dilalui.
"Keraton tidak menutup kemungkinan jika abdi dalem lain yang mampu juga memiliki kesempatan untuk menjadi juru kunci Gunung Merapi. Syarat juru kunci itu ada prosedurnya di keraton. Ada abdi dalem yang memenuhi syarat atau tidak atau mungkin keluarganya," katanya.
Meski demikian juga belum tentu salah satu dari anak Mbah Maridjan ditunjuk sebagai pengganti bapaknya menjadi juru kunci Gunung Merapi.
"Anaknya Mbah Maridjan juga belum tentu, karena kepangkatan dan sebagainya juga diperlukan," katanya.
MBAH MARIDJAN
SULTAN HAMENGKUBUWONO X
KERATON YOGYAKARTA
URUTAN GUNUNG MERAPI MELETUS
letusan Merapi pada tahun 1930 dicatat sebagai yang terbesar. Selain manusia, amukan gunung yang berada di wilayah Yogykarta Utara itu juga menghancurkan berhektar-hektar lahan pertanian dan rumah penduduk.
Tidak hanya itu, ribuan hewan ternak milik warga mati terkena amukan awan panas atau yang biasa disebut warga setempat dengan sebutan wedhus gembel. Peristiwa itu menjadi trauma tersendiri bagi warga yang sempat mengalaminya.“Mbiyen okeh sing mati, omah-omah rata karo lemah, kobong (dulu banyak yang meninggal, rumah-rumah rata dengan tanah, terbakar),” begitu cerita Mbah Bingu, salah satu warga Yogyakarta yang mengalami peristiwa itu.
Merapi sempat tenang selama belasan tahun. Hingga akhirnya pada tahun 1954, gunung yang menjadi salah satu titik kosmik penting masyarakat Jawa itu kembali bergolak. Namun kali ini, letusan gunung yang dijaga oleh Mbah Maridjan ini tidak sebesar pada tahun 1930.
Dari data yang diperoleh detikcom, korban tewas sekitar 60-an orang. Letusan juga menyebabkan rumah-rumah penduduk dan ternak milik warga mati. Kemudian, letusan berturut-turut tercatat terjadi pada 1961, 1969, 1976, 1994, 1997, 1998, dan 2001. Sebagian letusan yang terjadi tidak memakan korban.
Pada 2006, Merapi kembali menunjukkan aktivitasnya. Saat itu, awan panas yang meluncur ke arah Kali Gendol menyebabkan dua relawan Tim SAR yang bersembunyi di bungker Kaliadem, tewas. Peristiwa itu terjadi pada 14 Juni 2006. Saat itu, objek wisata Kaliadem porak-poranda.
Empat tahun setelah itu, Merapi kembali ‘beraksi’. Dimulai pertengahan Oktober 2010, status Merapi terus meningkat. Hingga akhirnya pada Senin 25 Oktober lalu, BPPT menetapkan status awas untuk gunung tersebut.
EFEK GUNUNG MERAPI MELETUS
Dikatakan oleh ahli kesehatan paru dari Rumah Sakit Omni Alam Sutera Tangerang, Dr Thahri Iskandar SpP, pada prinsipnya sewaktu letusan gunung itu terjadi, berbagai macam batu-batuan dikeluarkan. “Kandungan yang terdapat dalam abu vulkanik sangat variatif,” kata dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya ini.
Thahri mengatakan, apabila dibagibagi, maka kandungan dalam abu vulkanik tersebut terdiri atas pasir dan batu-batuan, produk letusan seperti belerang, juga awan panas yang banyak disebut dengan wedhus gembel. “Semuanya sangat berpengaruh terhadap kesehatan, khususnya paru-paru,” ungkapnya.
Masih dijelaskan Thahri, saat menyerang pernapasan, dampak yang terjadi pun bisa beragam. Misalnya saja saat menyerang kepada orang yang sebelumnya sehat, maka bergantung seberapa besar debu itu menyerang seseorang. “Posisi juga menentukan seberapa besar abu tersebut masuk ke dalam pernapasan kita,” ungkapnya.
Nah, jika posisi seseorang dekat dengan abu vulkanik yang kemudian masuk ke dalam pernapasan cukup banyak, maka bisa membuat saluran pernapasan membengkak karena efek dari panasnya udara. Yang terjadi, bisa saja sesak napas, bahkan sampai mengancam jiwa.
Sedangkan efek poitifnya adalah bisa saja material berupa pasir, batu, dan kerikil dapat menyuplai kebutuhan material bangunan dan sebagai sarana promosi kekayaan potensi Indonesia